angga juner

angga juner

Rabu, 21 November 2012

Prinsip dari Aliran Slurry


Untuk kasus ini, dimana partikel lebih padat daripada cairan ini dilakukan, gravitasi akan menimbulkan pengendapan partikel dan partikel yang telah menetap akan didukung oleh kontak granular. Ada juga beberapa jenis partikel yang signifikan hanya untuk partikel kecil. Untuk partikel yang lebih besar, gaya angkat hidrolik mungkin  lebih signifikan dimana hal ini dihasilkan oleh kecepatan gradient yang kuat dan rotasi partikel juga. Jika aliran turbulen ini sedang bekerja maka difusi tubulen yang bertindak berfungsi untuk meratakan perbedaan dalam konsentrasi padat.
Ada dua prinsip aliran slurry yaitu antara lain:
a.       Homogeneous flow
Aliran ini memiliki partikel solid non settling (dimana memiliki partikel halus dengan ukuran <40 berat="berat" dalam="dalam" dan="dan" ketika="ketika" konsentrasi="konsentrasi" m="m" solid="solid" terdapat="terdapat" tinggi="tinggi">40% Cw) dapat menjadi non Newtonian fluid.
1)      Newtonian homogeneous flow
Analisa frction loss menyerupai fluida single phase:
Iho =   (gradient friction loss) ……………………(1)
2)      Non-Newtonian Homogeneous flow
Analisa friction loss tergantung dari jenis fluida non-Newtonian.
b.      Heterogeneous flow
Aliran ini dimana partikelnya solid settling (dimana jenis partikelnya kasar dan memiliki ukuran partikel >40 µm). dan terdapat gradient konsentrasi partikel solid dalam aliran papa pipa horizontal. Dimana terdapat kecepatan minimum agar tidak terjadi pengendapan (deposition velocity) :
VD = V3 = FL ( 2gD1 )1/2  ……………….……………(2)
Gradient friction loss
Ihei K x iL CVi [  ( ]3/2 + iL………..……....(3)
Keterangan :
K  = Koefisien Eksperimental
FL = Durand factor

sumber : Wilson, K, C., Addie, G, R., Clift, R. 1992. “ Slurry Transport using Centrifugal Pumps”. London and New York

. Slurry


Menurut Son (1998); Coal water slurry (CWS) atau biasa disebut slurry batubara yaitu menyangkut interaksi antara tiga pase yang berbeda; solid (partikel batubara) liquid (air dan additives) dan gas (udara dan uap). Kedua-duanya interfacial dan property rheologi merupakan aturan penting yang berperan dalam menentukan karakter atom pada slurry. Pengukuran rheologi menunjukkan bahwa viskositas slurry secara umum meningkat  dengan berkurangnya ukuran utama partikel. Ketika pengaruh partikel batubara sudah di uraikan  dengan penambahan  additivies, adsoption atau bentuk lapisan salvation pada permukaannya dan akan meningkatkan efektifitas volumenya. Peningkatan efektifitas volume yaitu terutama untuk partikel yang lebih kecil karena total permukaanya lebih besar. Peningkatan efektivitas volume yaitu kelengkapan  untuk peningkatan viskositas slurry dengan berkurangnya ukuran partikel utama.
Tegangan permukaan pada sebuah campuran slurry itu lebih besar dibandingkan dengan liquid (air) karena sudah meningkatnya area permukaan pengaruh dari partikel solid. Peningkatan dari air biasa akan menjadi lebih berat untuk kandungan partikel slurry yang lebih kecil karena total area permukaan menjadi lebih besar. Atom-atom slurry dan properti rheologi sangat signifikan tergantung pada ukuran partikel batubara. Meskipun itu penting, tidak ada korelasi antara ukuran partikel dan karakter atom slurry hal itu sudah dipublikasikan.
Menurut Palmer (1977) dalam USGS report menjelaskan rentang antara 40 samapi 50 persen kandungan solid pipe cost menurun lebih cepat dibadingkan dengan peningkatan biaya pemakaian energy dan hasil yang didapatkan total biaya menurun. Kadungan di atas 50 persen konsentrasi  solid biaya pemakian energy meningkat lebih cepat dibandingkan dengan pipe cost dan total cost meningkat. Perlu dicatat bahwa total cost minimum transportasi pada kandungan 52 persen batubara, agak dekat dengan rasio 50 persen batubara.

Senin, 19 November 2012

perhitungan debit sungai untuk kebutuhan transportasi slurry


Data debit sungai :
Ø  Kerja pompa 24 jam
Ø  Air yang dibutuhkan sebanyak : 21.180,55 m3 (sesuai dengan jumlah batubara yang akan di transportasi dengan perbandingan 50% solid : 50% liquid)
Ø  Kapasitas pompa :
=  jumlah batubara yang akan di transportasi / kerja pompa
= 882.52 m3/hari
Ø  Effisiensi kerja 80% untuk pompa
= kapasitas pompa x 0,8
= 882.52 m3/hari x 0,8
= 706,016 m3/hari
Sehingga mencari pompa yang mampu dapat menyupplay air lebih besar dari 706,016 m3/ hari. Selain mencari pompa yang mampu menyupplay air lebih dari 706,016 m3/ hari, kita juga harus merancang air sungai yang digunakan untuk penyupplaian. Dalam hal ini air yang digunakan adalah air sungai dan memanfaatkan sungai yang terdapat dan terdekat dari tambang. Sungai itu adalah sungai enim, dimana sungai mempunyai debit sungai sekitar 984,7833 m3/jam(asumsi) dan memiliki panjang lebih dari 34 KM (asumsi).
Ø  Jumlah debit sungai : 984,7833 m3/jam
Ø  Panjang sungai = 100 meter
Ø  Lebar sungai = 30 meter
Ø  Kedalaman sungai = 4,88 meter
Ø  Volume sungai
Kita asumsikan sungai berbentuk persegi panjang.
Volume Sungai    = panjang x Lebar x Tinggi
                             = 100 m x 30 m x 4,88 m
                             = 14640 m3/100 meter
Jadi volume sungai untuk per 100 meter adalah 14640  m3 dan memiliki debit sungai sekitar 984,7833 m3/jam.

perhitungan produksi batubara slurry


Ø  Produksi PT. Bukit asam untuk Pit Tambang Air Laya (TAL) adalah 5.800.000 ton/tahun.
Ø  Produksi PT. Bukit asam untuk Pit Non Air Laya NAL adalah     9.450.000 ton/tahun
Untuk transportasi slurry batubara melalui pipa yaitu 50 % solid dan 50 % water. Dengan persentase 1 : 1 maka kita dapat memtransportasikan slurry batubara dari PT. Bukit Asam (persero) Tbk ke tanjung api-api yang memiliki jarak 270 KM.
·         Dari jumlah produksi PT. Bukit Asam (persero) Tbk pertahun adalah :
= Jumlah Produksi pertahun di TAL + Jumlah produksi pertahun di NAL
= 5.800.000 ton/tahun  + 9.450.000 ton/tahun
= 15.250.000 ton/tahun
·         Untuk produksi 1 bulan adalah :
= jumlah produksi pertahun/ 12 bulan
= 1.270.833.3 ton/bulan
·         Untuk produksi 1 hari adalah :
jumlah produksi perbulan/ 24 bulan
= 42.361,11 ton/hari
Setelah mendapatkan hasil produksi perhari dari PT. Bukit asam (persero) Tbk maka baru kita kalikan untuk persen solid 50% utnuk pencampuran slurry batubara.
Untuk Persen pencampuran batubara yang ideal antara solid dan water adalah 50% solid dan 50% water. Persen 1:1 itu digunakan pada fine batubara (batubara halus). Dimana 1:1 itu sedah mampu mentransportasi batubara dari PT. Bukit Asam (persero) Tbk ke tanjung api-api yang memiliki jarak 270 KM.
Jadi untuk jumlah batubara yang di transportasi dari PT. Bukit Asam (persero) Tbk ke tanjung api-api dengan persen solid 50% dan 50% water adalah:
Jumlah batubara yang di transportasi = jumlah produksi x persen solid
= 42.361,11 ton x 50 %
= 21.180,55 ton

Minggu, 29 Juli 2012

jurnal undang-undang tambang


ASPEK GEOLOGI DI DALAM PENYUSUNAN WILAYAH USAHA PERTAMBANGAN MINERAL LOGAM

Oleh:

Anggreadi Ridho Permana,Anggha Putra Putra, Yayat Irawan
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya, Jurusan Teknik Pertambangan
 Jl. Srijaya Negara, Bukit Besar, Palembang
Telp. 0711-370178 ; Fax : 0711-352870
Sumatera Selatan
ABSTRAK
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mengamanatkan kepada pemerintah untuk menetapkan Wilayah Pertambangan (WP) sebagai bagian dari Tata Ruang Nasional. Wilayah yang bisa diterbitkan perijinannya ditetapkan oleh pemerintah terlebih dahulu berupa WUP untuk kemudian dilakukan pelelangan kepada para pelaku usaha pertambangan dalam bentuk Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP).
Beberapa kriteria Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) mineral logam yang berkaitan dengan geologi sebagaimana ditetapkan didalam Peraturan Pemerintah nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan adalah memiliki formasi batuan pembawa mineral logam, memiliki singkapan geologi untuk mineral logam, memiliki potensi sumber daya mineral dan memiliki satu atau lebih jenis mineral termasuk mineral ikutannya. Penyusunan WUP tidak bisa dipisahkan dengan Wilayah Pencadangan Negara (WPN) dimana memiliki kesamaan didalam kriteria-kriteria geologi.
Penerapan konsep geologi dan keterdapatan mineral sangat diperlukan didalam penyusunan WUP/WPN dimana disusun berdasar data yang sifatnya masih umum (regional) berupa litologi, stratigrafi dan struktur geologi. Keterkaitan WIUP yang akan dilelang dengan tahapan kegiatan eksplorasi tergantung dari tingkat penyelidikan didalam penyediaan data tersebut.

Kata Kunci;WUP,WPN, geologi


1.      PENDAHULUAN
Kebijakan pemerintah di dalam pengelolaan sumberdaya mineral saat ini mengacu kepada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). UU Minerba tersebut mengamanatkan kepada pemerintah untuk menetapkan Wilayah Pertambangan (WP) sebagai bagian dari Tata  Ruang  Nasional . Wilayah Pertambangan terdiri dari Wilayah Usaha Pertambangan ( WUP ) , Wilayah Pencadangan Negara (WPN) dan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Di dalam peraturan perundangundangan sebelumnya izin kegiatan eksplorasi diterbitkan berdasar pengajuan lokasi oleh pemohon. Saat ini wilayah yang bisa diterbitkan perizinannya ditetapkan oleh pemerintah terlebih dahulu berupa WUP untuk kemudian dilakukan pelelangan kepada para pelaku usaha pertambangan dalam bentuk Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) untuk komoditi mineral logam dan/atau batubara. Sehingga pemerintah dituntut untuk menyediakan wilayah yang layak ditawarkan kepada pelaku usaha pertambangan untuk dilakukan kegiatan eksplorasi. Tulisan ini memuat pemahaman penulis mengenai peraturan yang ada serta mencoba mengaplikasikan konsep konsep geologi dan mineralisasi didalam penentuan WUP untuk komoditi mineral logam dengan tujuan memberikan masukan didalam penyusunannya.
2.      TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Wilayah Usaha Pertambangan
Didalam UU Minerba disebutkan bahwa WUP merupakan bagian dari WP yang memiliki ketersediaan data, potensi dan/atau informasi geologi. Satu WUP terdiri atas satu atau beberapa (WIUP) yang berada pada lintas wilayah provinsi, lintas wilayah kabupaten/kota, dan/atau dalam satu wilayah kabupaten/kota. Luas WIUP mineral logam paling sedikit 5.000 hektar dan paling banyak 100.000 hektar. Peraturan Pemerintah no 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiata n Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara menyebutkan bahwa sanya WIUP mineral logam atau batubara dapat diperoleh dengan cara lelang. Sebagai dasar untuk melaksanakan kegiatan eksplorasi maka didalam WIUP yang sudah dilakukan pelelangan tersebut diterbitkan Ijin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi).
Mengacu kepada Peraturan Pemerintah No 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan pasal 20, criteria didalam penyusunan WUP komoditi mineral logam adalah : memiliki formasi batuan pembawa mineral logam termasuk wilayah lepas pantai berdasarkan peta geologi, memiliki singkapan geologi untuk mineral logam, memiliki potensi sumber daya mineral, memiliki satu atau lebih jenis mineral termasuk mineral ikutannya, tidak tumpang tindih dengan WPR dan/atau WPN, merupakan wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertambangan secara bekelanjutan dan merupakan kawasan peruntukan pertambangan sesuai dengan rencana tata ruang.
Penyusunan WUP tidak bisa dipisahkan dengan WPN dimana memiliki kesamaan didalam kriterianya sesuai PP. No 22 Tahun 2010 pasal 29 yaitu; memiliki formasi batuan pembawa mineral logam termasuk wilayah lepas pantai berdasarkan peta geologi, memiliki singkapan geologi untuk mineral logam berdasar data/peta geologi, memiliki potensi/cadangan mineral logam ditambah kriteria untuk keperluan Konservasi komoditas tambang, berada pada wilayah dan/atau pulau yang berbatasan dengan negara lain, merupakan wilayah yang dilindungi; dan/atau berada pada pulau kecil dengan luas maksimal 2.000 km sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan.
Sesuai dengan PP No 22 tahun 2010 pasal 5, data yang dipergunakan didalam penyusunan WUP/WPN merupakan data yang diinvetarisasi pemerintah hasil penyelidikan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun perusahaan yang berupa data geologi hasil evaluasi dari kegiatan pertambangan yang sedang berlangsung, telah berakhir, dan/atau telah dikembalikan kepada menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
2.2.Geologi dan Keterdapatan Mineral Logam Di Indonesia
Busur Kepulauan Indonesia yang terletak diantara dua Paparan Benua Asia dan Australia sudah sejak lama menjadi perhatian para ahli geologi dan pertambangan. Hal yang menarik dari keadaan geologi Indonesia yaitu terdapatnya zona jalur magmatik berumur Permo-Karbon hingga Tersier yang menempati kepulauan Indonesia bagian barat dan adanya jalur gunungapi serta palung-palung laut dalam yang membujur dari bagian barat Sumatera, bagian selatan Jawa, Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi dan berlanjut ke Filipina. Secara regional Indonesia terletak pada daerah tumbukan tiga lempeng besar , yakni Lempeng Benua Eurasia, Lempeng Benua India-Australia dan Lempeng Samudra Pasifik yang mengakibatkan kondisi struktur geologi yang kompleks dan kandungan variasi energi dan mineral seperti : minyak dan gas bumi, batubara, gambut, panas bumi, tembaga, emas, nikel, timah serta mineral mineral lainnya.
Cebakan mineral logam di Indonesia yang meliputi emas, perak, tembaga, seng, timbal, timah, besi, nikel, mangan, aluminium, dll., terletak pada jalur magmatic pembawa mineralisasi seperti Jalur Sunda- Banda, Jalur Kalimantan-Tengah, Jalur Sulawesi Timur-Mindanau, Jalur Halmahera dan Jalur Irian Jaya Tengah (Gambar 1 ). Secara keseluruhan terdapat 15 jalur magmatik yang terbentuk di sepanjang kepulauan Indonesia dengan panjang mencapai lebih dari 15.000 km (Carlile dan Mitchell, 1994).
Selain membentuk jalur magmatik proses tektonik memunculkan batuan kerak samudera berkomposisi ultrabasa di beberapa tempat di bagian timur Indonesia. Jalur magmatik pembawa mineralisasi logam tersebut secara geologi dibentuk oleh aneka ragam batuan yang terdiri dari umumnya batuan gunungapi, terobosan batuan beku, batuan sedimen dan sebagian kecil batuan ofiolit. Keragaman komoditi dan tipe mineralisasi logam dipengaruhi formasi atau jenis batuan baik batuan pembawa maupun batuan samping. Guilbert & Park (1986) membuat klasifikasi keterdapatan jenis mineralisasi berdasarkan asosiasi batuannya yang diantaranya meliputi batuan beku, batuan vulkanik, batuan sedimen, kerak benua dan batuan metamorf.

Gambar 1
Peta jalur mineralisasi dan lokasi mineral logam (Modifikasi)
Carlile,J.C and Mitchell, A.H.G. 1994)

3.      Hasil Dan Pembahasan
3.1.Hasil
Dari permasalahan yang terjadi pada aspek geologi di dalam penyusunan wilayah izin usaha pertambangan mineral logam maka ada undang-undang yang berwenang didalam aspek ini. Untuk memberikan suatu wilayah izin usaha pertambangan diperlukan landasan hukum dan undang-undang yang berlaku. Jadi undang-undang yang akan diterakan di dalam masalah ini adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mengamanatkan kepada pemerintah untuk menetapkan Wilayah Pertambangan (WP) sebagai bagian dari Tata Ruang Nasional. Dari undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 dikeluarkan juga Peraturan Pemerintah no 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara menyebutkan bahwa sanya WIUP mineral logam atau batubara dapat diperoleh dengan cara lelang.
Tabel 1
Hubungan Tahapan Eksplorasi, WIUP, dan Ketersediaan Data
Akan tetapi mengacu kepada Peraturan Pemerintah No 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan pasal 20, yakni kriteria didalam penyusunan WUP komoditi mineral logam adalah: memiliki formasi batuan pembawa mineral logam termasuk wilayah lepas pantai berdasarkan peta geologi, memiliki singkapan geologi untuk mineral logam, memiliki potensi sumber daya mineral, memiliki satu atau lebih jenis mineral termasuk mineral ikutannya, tidak tumpang tindih dengan WPR dan/atau WPN, merupakan wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertambangan secara bekelanjutan dan merupakan kawasan peruntukan pertambangan sesuai dengan rencana tata ruang.
Penyusunan WUP tidak bisa dipisahkan dengan WPN dimana memiliki kesamaan didalam kriterianya sesuai PP. No 22 Tahun 2010 pasal 29 yaitu; memiliki formasi batuan pembawa mineral logam termasuk wilayah lepas pantai berdasarkan peta geologi, memiliki singkapan geologi untuk mineral logam berdasar data/peta geologi, memiliki potensi/cadangan mineral logam ditambah kriteria untuk keperluan Konservasi komoditas tambang, berada pada wilayah dan/atau pulau yang berbatasan dengan negara lain, merupakan wilayah yang dilindungi; dan/atau berada pada pulau kecil dengan luas maksimal 2.000 km sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan.
Sesuai dengan PP No 22 tahun 2010 pasal 5, data yang dipergunakan didalam penyusunan WUP/WPN merupakan data yang diinvetarisasi pemerintah hasil penyelidikan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun perusahaan yang berupa data geologi hasil evaluasi dari kegiatan pertambangan yang sedang berlangsung, telah berakhir, dan/atau telah dikembalikan kepada menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
3.2.Pembahasan
Peran geologi didalam penyusunan WUP/WPN adalah menerapkan konsep pembentukan dan pengendapan mineral dengan data-data geologi yang merupakan kriteria WUP. Data yang dipakai berupa Peta Geologi lembar Sindangbarang dan Bandarwaru skala 1 : 250.000 (M. Koesmono, Kusnama & N. Suwarna, 1996) terbitan Pusat Penelitian  dan Pengembangan Geologi yang merupakan data geologi regional bersistem ditunjang dengan data keterdapatan mineral logam baik indikasi maupun sumberdaya. Berdasarkan beberapa kriteria geologi meliputi stratigrafi, litologi dan struktur geologi dapat dideliniasi WUP/WPN.
3.2.1.  Perangkap Statigrafi
Jika mineral logam diketahui terbentuk didalam litologi tertentu atau dengan kata lain pada horizon stratigrafi, maka langkah pertama untuk menentukan lokasi prospek adalah menentukan indikasi permukaan dan memperluas pada horizon yang sama. Contoh endapan mineral yang dipengaruhi kondisi stratigrafi adalah pasir besi (Gambar 2) dan endapan-endapan tipe placer lainnya. Endapan pantai di selatan Jawa Barat terindikasi memiliki kandungan pasir besi pada beberapa lokasi.
Endapan tersebut merupakan akumulasi hasil transport oleh sungai-sungai yang membawa rombakan material-material mengandung bijih besi dari batuan-batuan gunungapi di bagian utara baik Formasi Jampang maupun endapan piroklastika tak terpisahkan yang memiliki komposisi andesitik. Penyebaran endapan pantai tersebut atas dasar kesamaan stratigrafi dan indikasi keterdapatan pasir besi diusulkan sebagai blok WUP.
Gambar 2
WUP pasir besi didukung kriteria stratigrafi (Geologi modifikasi dari Koesmono, 1996)

Gambar 3
WUP dan WPN nikel ditentukan oleh litologi ultrabasa (Geologi modifikasi dari
Simanjuntak dkk, 1993)
3.2.2.  Litologi
Jenis litologi yang bisa langsung diusulkan untuk WUP/WPN salah satunya adalah batuan ultrabasa (Gambar 3). Endapan mineral yang pada batuan ultrabasa adalah nikel dengan mineral mineral penyerta berupa kobalt, kromit dan besi. Hal ini terjadi karena ada proses pelapukan pada batuan ultrabasa. Pelapukan akan memencarkan satu atau beberapa unsur sehingga terjadi pengayaan unsur-unsur tersebut (Guilbert & Park, 1986).
Endapan ini dikenal sebagai nikel laterit. Usulan blok WUP dideliniasi pada daerah yang berimpit dengan hutan lindung, sedangkan WPN yang berimpit dengan kawasan konservasi. Beberapa contoh jenis litologi lain (Gambar 5) yang memiliki sifat akomodatif terhadap proses mineralisasi selain batuan ultrabasa di daerah Sulawesi bagian selatan adalah batuan gunungapi, batuan terobosan intermediet-asam dan batuan terobosan basa. Cebakan tipe epitermal dan cebakan tipe kuroko dapat terbentuk pada batuan gunung api, cebakan logam dasar tipe porfiri pada batuan intrusi intermediet-asam dan cebakan kromit-platinum pada intrusi batuan ultrabasa (Guilbert&Park, 1986).
3.2.3.  Struktur Geologi
Struktur geologi merupakan factor pengontrol didalam proses mineralisasi logam. Beberapa cebakan mineral terbentuk pada daerah yang diterobos oleh batuan intrusi. Struktur yang terbentuk sebelum mineralisasi merupakan struktur terpenting karena berfungsi sebagai saluran larutan bijih dan bisa terbentuk mineral. Sedangkan struktur yang terbentuk setelah mineralisasi akan merubah geometri mineral bijih.
Kombinasi antara stratigrafi, litologi dan struktur geologi menjadi faktor penting didalam pembentukan mineralisasi. Sedangkan daerah prospek ditentukan oleh adanya batuan samping yang memiliki komposisi material gunungapi dengan struktur geologi berupa sesar yang relative intensif dan diterobos oleh batuan beku sebagai pembawa larutan hidrotermal.
Kondisi daerah seperti ini memiliki peluang akan terbentuknya cebakan logam primer. Sehingga daerah tersebut dimasukkan kedalam WUP, sementara yang didalam.
Gambar 4
Kelompok batuan di Sulawesi bagian selatan sebagai pembawa mineral logam (Modifikasi dari berbagai peta geologi daerah Sulawesi bagian selatan terbitan Pusat Penelitian
 dan Pengembangan Geologi).
Gambar 5
Tampilan peta WUP dan WPN mineral logam yang dikontrol oleh faktor stratigrafi, litologi dan struktur geologi. (Geologi modifikasi
dari Affendi & Apandi, 1993)

4.      KESIMPULAN
WUP dan WPN disusun berdasar kriteria teknis yang sama, dimana WPN bisa ditetapkan untuk kepentingan strategis nasional sebagai daerah yang dicadangkan untuk komoditas tertentu dan daerah konservasi untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan lingkungan. Data yang dipergunakan merupakan hasil inventarisasi oleh pemerintah terhadap hasil-hasil penelitian oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah dan perusahaan.
Aplikasi geologi berupa Penerapan konsep geologi dan keterdapatan mineral sangat diperlukan didalam penyusunan WUP/WPN dimana disusun berdasar data yang sifatnya masih umum (regional) maupun data-data detail hasil kegiatan eksplorasi baik oleh pemerintah maupun perusahaan.
Keterkaitan WIUP yang ditawarkan untuk dilelang dengan tahapan kegiatan eksplorasi tergantung dari tingkat penyelidikan didalam penyediaan data tersebut. WIUP yang sudah ditetapkan dan dilelang menjadi tugas pemegang IUP untuk menindaklanjuti dengan kegiatan eksplorasi
selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA
1.      Ernowo dan Bambang Pardiarto. 2011. “Aspek Geologi Di Dalam Penyusunan Wilayah Usaha Pertambangan Mineral Logam”. Jurnal Buletin Sumber Daya Geologi Volume 6 Nomor 2 tahun 2011.
2.      http://www.google.co.id//jurnal_penambangan_batubara_mengacu_uu_no.4_tahun_2009.
3.      http://www.bgl.esdm.go.id//publication_Findex.php_Farticle_download_uu_no.4_tahun_2009.